Cerita bunuh diri yang dilakukan seorang ibu bersama empat anaknya di Malang merupakan cerita buruk. Namun, itu harus diangkat untuk menyadarkan kita.
Menyadarkan apa? Menyadarkan kita tentang betepa kemiskinan yang ada di tengah kita begitu menakutkan.
Ibaratnya sudah tidak ada lagi jaring pengaman yang bisa dijadikan harapan untuk keluar dari kesulitan.
Ketika keputusasaan yang muncul, tidak usah heran apabila banyak orang kemudian memilih jalan pintas. Seakan bunuh diri merupakan langkah yang bisa menyelesaikan persoalan, padahal sama sekali tidak. Apa yang terjadi di Malang tidak bisa hanya kita katakan sebagai sebuah kasus biasa. Kita harus menangkapnya sebagai sebuah fenomena gunung es. Karena itu, kita tidak bisa membiarkannya, tetapi harus berupaya untuk menyelesaikan akar persoalannya, dan akar persoalan itu tidak lain adalah kemiskinan.
Kita memang diingatkan bahwa kemiskinan tak hanya diakibatkan oleh ketiadaan pekerjaan. Kemiskinan bisa terjadi karena kemalasan, ketidakmauan untuk bekerja keras, mau enaknya saja. Untuk yang terakhir ini memang tidak mudah karena berkaitan dengan kultur. Kultur dari masyarakat untuk tidak mudah menyerah dan selalu bekerja keras. Namun, yang berkaitan dengan ketiadaan lapangan kerja merupakan sesuatu yang bisa kita carikan penyelesaiannya. Dengan apa? Dengan mendorong kegiatan ekonomi, dengan memacu tumbuhnya investasi. Hal itu bukanlah sesuatu yang tidak bisa kita raih. Namun, sekali lagi, menuntut kesungguhan kita untuk mau melakukannya, mengambil keputusan, tidak membiarkan semua itu mengambang tidak menentu. Sekarang ini praktis ekonomi tidak berjalan.
Persoalannya bukan terletak pada tidak adanya kesempatan, tetapi ketidakadaan kepastian. Sejak lama sudah diingatkan perlu segera diperbaikinya aturan iklim investasi.Perlu diperbaikinya aturan tentang perpajakan, bea dan cukai, ketenagakerjaan, soal ketersediaan infrastruktur. Tetapi kita tidak segera tanggap utnuk segera menyelesaikan semua pekerjaan rumah itu. Akibatnya, meski kita sudah dengan susah payah menstabilkan makroekonomi kita, imbasnya tak sampai ke sektor riil.
Likuiditas hanya berputar-putar di tempat dan akhirnya malah menjadi beban bagi kita semua. Kemiskinan bukan hanya membuat ada keluarga yang bunuh diri, tetapi mengimbas ke persoalan lainnya. Mulai dari masih buruknya kualitas kesehatan hingga pendidikan. Kita mulai mendengar keluhan keluarga untuk bisa terus menyekolahkan anaknya. Tidakkah semua itu cukup untuk mengentak kesadaran kita bersama menyelesaikan persoalan kemiskinan? Terutama masalh pendidikan dan kesehatan, keduanya harus jadi perhatian utama karena terkait masa depan kita sebagai bangsa.
Ketika kita alpa menangani kedua sektor itu secara benar, kualitas sumber daya manusia kita pada masa depanlah yang akan dipertaruhkan. Kita akan memiliki generasi yang tidak berkualitas di tengah dunia yang berpacu untuk mempunyai sumber daya manusia yang tangguh. Kita tentunya tidak mau menjadi bangsa paria di tengah masyarakat dunia!
Menyadarkan apa? Menyadarkan kita tentang betepa kemiskinan yang ada di tengah kita begitu menakutkan.
Ibaratnya sudah tidak ada lagi jaring pengaman yang bisa dijadikan harapan untuk keluar dari kesulitan.
Ketika keputusasaan yang muncul, tidak usah heran apabila banyak orang kemudian memilih jalan pintas. Seakan bunuh diri merupakan langkah yang bisa menyelesaikan persoalan, padahal sama sekali tidak. Apa yang terjadi di Malang tidak bisa hanya kita katakan sebagai sebuah kasus biasa. Kita harus menangkapnya sebagai sebuah fenomena gunung es. Karena itu, kita tidak bisa membiarkannya, tetapi harus berupaya untuk menyelesaikan akar persoalannya, dan akar persoalan itu tidak lain adalah kemiskinan.
Kita memang diingatkan bahwa kemiskinan tak hanya diakibatkan oleh ketiadaan pekerjaan. Kemiskinan bisa terjadi karena kemalasan, ketidakmauan untuk bekerja keras, mau enaknya saja. Untuk yang terakhir ini memang tidak mudah karena berkaitan dengan kultur. Kultur dari masyarakat untuk tidak mudah menyerah dan selalu bekerja keras. Namun, yang berkaitan dengan ketiadaan lapangan kerja merupakan sesuatu yang bisa kita carikan penyelesaiannya. Dengan apa? Dengan mendorong kegiatan ekonomi, dengan memacu tumbuhnya investasi. Hal itu bukanlah sesuatu yang tidak bisa kita raih. Namun, sekali lagi, menuntut kesungguhan kita untuk mau melakukannya, mengambil keputusan, tidak membiarkan semua itu mengambang tidak menentu. Sekarang ini praktis ekonomi tidak berjalan.
Persoalannya bukan terletak pada tidak adanya kesempatan, tetapi ketidakadaan kepastian. Sejak lama sudah diingatkan perlu segera diperbaikinya aturan iklim investasi.Perlu diperbaikinya aturan tentang perpajakan, bea dan cukai, ketenagakerjaan, soal ketersediaan infrastruktur. Tetapi kita tidak segera tanggap utnuk segera menyelesaikan semua pekerjaan rumah itu. Akibatnya, meski kita sudah dengan susah payah menstabilkan makroekonomi kita, imbasnya tak sampai ke sektor riil.
Likuiditas hanya berputar-putar di tempat dan akhirnya malah menjadi beban bagi kita semua. Kemiskinan bukan hanya membuat ada keluarga yang bunuh diri, tetapi mengimbas ke persoalan lainnya. Mulai dari masih buruknya kualitas kesehatan hingga pendidikan. Kita mulai mendengar keluhan keluarga untuk bisa terus menyekolahkan anaknya. Tidakkah semua itu cukup untuk mengentak kesadaran kita bersama menyelesaikan persoalan kemiskinan? Terutama masalh pendidikan dan kesehatan, keduanya harus jadi perhatian utama karena terkait masa depan kita sebagai bangsa.
Ketika kita alpa menangani kedua sektor itu secara benar, kualitas sumber daya manusia kita pada masa depanlah yang akan dipertaruhkan. Kita akan memiliki generasi yang tidak berkualitas di tengah dunia yang berpacu untuk mempunyai sumber daya manusia yang tangguh. Kita tentunya tidak mau menjadi bangsa paria di tengah masyarakat dunia!
(sumber: KOMPAS, RABU, 14 MARET 2007, HAL. 6 KOLOM TAJUK RENCANA)
No comments:
Post a Comment